Assalamu'alaikum Penikmat tulisan saya, dimanapun Anda berada.
Postingan ini merupakan postingan perdana blog ini setelah setahun lebih vakum. Insha Allah, saya akan kembali rajin menulis, karena saya saat ini sedang berada di perantauan dan pasti banyak sekali hal yang bisa saya bagikan kepada pembaca sekalian.
Topik kali ini adalah tentang nikmat.
Apa sebenarnya defenisi nikmat? Apakah nikmat selalu dalam bentuk kesenangan, kecukupan, kelimpahan? Atau sebenarnya nikmat adalah setiap hal apa saja yang kita terima?
Jika kita mencoba menuliskan nikmat Allah yang Dia Karuniakan kepada kita, niscaya hingga kiamat pun kita tidak akan mampu melakukannya. Dia yang telah menciptakan kehidupan kepada kita, lantas menghiasnya dengan segala nikmat. Nikmat dalam dua wujud. Wujud yang menyenangkan dan wujud menyedihkan. Ya, itu semua hanya melalui kacamata manusia. Kacamata Allah selalu memandang hal yang Dikaruniakan kepada kita adalah jalan hidup terbaik, jalan hidup terindah.
"Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?" (QS. Ar-Rahman, diulang tiga puluh satu kali di dalam surah yang sama).
Saat Allah memberi kesempatan hidup di dunia ini, diberi kesempatan menghirup oksigen gratis, serta diberi kekuatan untuk meniti hari di muka bumi milik-Nya, maka saat itulah segala nikmat indahnya dianugerahkan untuk manusia. Manusia, sejatinya adalah makhluk lemah, tiada berdaya apapun tanpa kuasa Allah. Atas nikmat Allah-lah maka manusia bisa terlihat elok, pintar, kaya, bahkan sifat baik yang dimiliki manusia pun ada atas nikmat Allah.
Lantas, ketika kondisi hidup seorang anak Adam berada di roda bawah, apakah simpel semuanya terlihat buruk? Pemikiran ini yang harus kita ubah. Cobalah melihat suatu permasalahan yang menimpa diri kita dari kacamata yang berbeda. Cobalah untuk memahami maksud terselubung yang ingin Allah sampaikan di balik kesulitan yang sedang kita hadapi. Bukankah Allah sendiri yang telah berkata bahwa sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan.
Percayalah, setiap cobaan yang Allah titipkan semata-mata karena kita mampu memikulnya. Seharusnya ketika cobaan itu datang dan terlihat berat, kita harus bersyukur. Itu artinya Allah menilai kita sebagai manusia kokoh yang bisa memikul beban sedemikian rupa. Halus sekali bukan cara Allah menyayangi kita? Lantas masihkah ada alasan kita untuk mengingkari ajaran-Nya?
"Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?" (QS. Ar-Rahman, diulang tiga puluh satu kali di dalam surah yang sama).
Ya, nikmat manalagi yang manusia dustakan? Coba sekarang ambil selembar kertas, lalu bagi kertas tersebut menjadi dua sisi. Sisi sebelah kiri isi dengan alpa apa saja yang telah kita lakukan seharian ini, kecil besar. Lalu, sisi sebelah kanan diisi dengan kebaikan apa saja yang telah kita lakukan seharian, kecil besar. Lebih banyak mana? Boleh jadi dosa kita lebih banyak daripada kebaikan kita.Selanjutnya, tuliskan lagi nikmat apa saja yang telah Allah berikan hari ini kepada kita, kecil besar. Amat menakjubkan, pastilah nikmat Allah jauh lebih banyak daripada jumlah dosa dan kebaikan kita, bahkan tidak habis kita tuliskan. Ya, nikmat manalagi yang manusia dustakan? Ketika manusia sibuk dengan urusan duniawinya, melupakan penciptanya yang amat mencintai dan merindukannya, manusia malah sibuk mengurus ingar bingar dunianya. Namun demikian, kekasih tetaplah kekasih. Allah adalah sosok yang paling Mengasihi hamba-Nya. Allah tetap mencurahkan jutaan nikmatnya saat manusia mungkin ribuan kali melupakannya. Subhanallah, Allah sudah mencintai kita sedemikian rupa, haruskah kita terus mengabaikannya?
Lantas kelak saat kita menghadap-Nya di Padang Mahsyar, diminta pertanggung jawaban atas nafas karunia-Nya, fisik sempurna, kekayaan, pasangan hidup yang membahagiakan, anak-anak perhiasan dunia, tahta, kecerdasan, kelapangan waktu, dan banyak nikmat lainnya, apa yang harus kita persembahkan? Tangan hampa? Atau kecintaan kita kepada dunia fana ini? Tidakkah kita rindu bertemu dengan-Nya seraya mempersembahkan ladang amal yang subur dan bagus hasil panennya?
Wahai sahabat sesama manusia, sesungguhnya kita telah dilebihkan daripada makhluk Allah yang lain. Nafsu dan akal yang sejalan. Gunakanlah akal kita untuk mengendalikan nafsu duniawi kita. Bersyukurlah selalu untuk nikmat indah dari Allah. Jangan sampai neraka menanti kehadiran kita dengan kobaran apinya yang menyala-nyala.
Teruslah bersyukur dan berbuat baik, karena kita tidak pernah tahu kebaikan mana yang membawa kita ke surga.
"Dan sungguh, Kami telah menempatkan kamu di bumi dan di sana Kami sediakan (sumber) penghidupan untukmu. (Tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur." (QS. Al-A'raf/7:10)
Wallahu'alam.
Postingan ini merupakan postingan perdana blog ini setelah setahun lebih vakum. Insha Allah, saya akan kembali rajin menulis, karena saya saat ini sedang berada di perantauan dan pasti banyak sekali hal yang bisa saya bagikan kepada pembaca sekalian.
Topik kali ini adalah tentang nikmat.
Apa sebenarnya defenisi nikmat? Apakah nikmat selalu dalam bentuk kesenangan, kecukupan, kelimpahan? Atau sebenarnya nikmat adalah setiap hal apa saja yang kita terima?
Jika kita mencoba menuliskan nikmat Allah yang Dia Karuniakan kepada kita, niscaya hingga kiamat pun kita tidak akan mampu melakukannya. Dia yang telah menciptakan kehidupan kepada kita, lantas menghiasnya dengan segala nikmat. Nikmat dalam dua wujud. Wujud yang menyenangkan dan wujud menyedihkan. Ya, itu semua hanya melalui kacamata manusia. Kacamata Allah selalu memandang hal yang Dikaruniakan kepada kita adalah jalan hidup terbaik, jalan hidup terindah.
"Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?" (QS. Ar-Rahman, diulang tiga puluh satu kali di dalam surah yang sama).
Saat Allah memberi kesempatan hidup di dunia ini, diberi kesempatan menghirup oksigen gratis, serta diberi kekuatan untuk meniti hari di muka bumi milik-Nya, maka saat itulah segala nikmat indahnya dianugerahkan untuk manusia. Manusia, sejatinya adalah makhluk lemah, tiada berdaya apapun tanpa kuasa Allah. Atas nikmat Allah-lah maka manusia bisa terlihat elok, pintar, kaya, bahkan sifat baik yang dimiliki manusia pun ada atas nikmat Allah.
Lantas, ketika kondisi hidup seorang anak Adam berada di roda bawah, apakah simpel semuanya terlihat buruk? Pemikiran ini yang harus kita ubah. Cobalah melihat suatu permasalahan yang menimpa diri kita dari kacamata yang berbeda. Cobalah untuk memahami maksud terselubung yang ingin Allah sampaikan di balik kesulitan yang sedang kita hadapi. Bukankah Allah sendiri yang telah berkata bahwa sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan.
Percayalah, setiap cobaan yang Allah titipkan semata-mata karena kita mampu memikulnya. Seharusnya ketika cobaan itu datang dan terlihat berat, kita harus bersyukur. Itu artinya Allah menilai kita sebagai manusia kokoh yang bisa memikul beban sedemikian rupa. Halus sekali bukan cara Allah menyayangi kita? Lantas masihkah ada alasan kita untuk mengingkari ajaran-Nya?
"Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?" (QS. Ar-Rahman, diulang tiga puluh satu kali di dalam surah yang sama).
Ya, nikmat manalagi yang manusia dustakan? Coba sekarang ambil selembar kertas, lalu bagi kertas tersebut menjadi dua sisi. Sisi sebelah kiri isi dengan alpa apa saja yang telah kita lakukan seharian ini, kecil besar. Lalu, sisi sebelah kanan diisi dengan kebaikan apa saja yang telah kita lakukan seharian, kecil besar. Lebih banyak mana? Boleh jadi dosa kita lebih banyak daripada kebaikan kita.Selanjutnya, tuliskan lagi nikmat apa saja yang telah Allah berikan hari ini kepada kita, kecil besar. Amat menakjubkan, pastilah nikmat Allah jauh lebih banyak daripada jumlah dosa dan kebaikan kita, bahkan tidak habis kita tuliskan. Ya, nikmat manalagi yang manusia dustakan? Ketika manusia sibuk dengan urusan duniawinya, melupakan penciptanya yang amat mencintai dan merindukannya, manusia malah sibuk mengurus ingar bingar dunianya. Namun demikian, kekasih tetaplah kekasih. Allah adalah sosok yang paling Mengasihi hamba-Nya. Allah tetap mencurahkan jutaan nikmatnya saat manusia mungkin ribuan kali melupakannya. Subhanallah, Allah sudah mencintai kita sedemikian rupa, haruskah kita terus mengabaikannya?
Lantas kelak saat kita menghadap-Nya di Padang Mahsyar, diminta pertanggung jawaban atas nafas karunia-Nya, fisik sempurna, kekayaan, pasangan hidup yang membahagiakan, anak-anak perhiasan dunia, tahta, kecerdasan, kelapangan waktu, dan banyak nikmat lainnya, apa yang harus kita persembahkan? Tangan hampa? Atau kecintaan kita kepada dunia fana ini? Tidakkah kita rindu bertemu dengan-Nya seraya mempersembahkan ladang amal yang subur dan bagus hasil panennya?
Wahai sahabat sesama manusia, sesungguhnya kita telah dilebihkan daripada makhluk Allah yang lain. Nafsu dan akal yang sejalan. Gunakanlah akal kita untuk mengendalikan nafsu duniawi kita. Bersyukurlah selalu untuk nikmat indah dari Allah. Jangan sampai neraka menanti kehadiran kita dengan kobaran apinya yang menyala-nyala.
Teruslah bersyukur dan berbuat baik, karena kita tidak pernah tahu kebaikan mana yang membawa kita ke surga.
"Dan sungguh, Kami telah menempatkan kamu di bumi dan di sana Kami sediakan (sumber) penghidupan untukmu. (Tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur." (QS. Al-A'raf/7:10)
Wallahu'alam.
Komentar
Posting Komentar